1. Biografi Edmund
Husserl
Edmund Gustav Albrecht Husserl atau dikenal dengan nama Edmund Husserl lahir pada tanggal 08 April 1859 di
kota Proßnitz,
Moravia, Austria (sekarang Prostějov, Czech Republic). Keluarganya adalah penganut Yahudi,
meskipun bukan keluarga ortodoks. Dia memulai belajar bahasa Jerman klasik di
Realgymnasium di Wina pada usia 10 tahun, dan di tahun berikutnya dipindahkan
ke Staatsgymnasium di Olmütz. Dia menempuh studinya di Universitas Leipzig, berkonsentrasi
pada Matematika, fisika, dan filsafat, dengan minat khusus dalam astronomi dan
optik. Setelah dua tahun, ia pindah ke Berlin untuk mengembangkan minatnya
dalam matematika, sekali lagi kembali ke Wina, dan memperoleh gelar doktor pada
tahun 1883.[1]
Disertasinya adalah
tentang teori kalkulus variasi. Dia pernah mengajar untuk waktu yang singkat di
Berlin. Namun, karena tertarik dengan kuliah Franz Brentano menyebabkannya
untuk kembali ke Wina pada tahun 1884. Kuliah ini memiliki
pengaruh yang besar pada diri Husserl, sehingga mendorong dia untuk
lebih banyak melakukan penelitian dalam bidang psikologi dan filsafat. Konsep
Brentano tentang tujuan sebagaimana diterapkan pada filsafat kesadaran sebagai
kesadaran terhadap sesuatu merupakan pengaruh utama terhadap Husserl.
Tahun 1886-7 merupakan
tahun penting bagi Husserl. Dia pindah ke Halle dan belajar psikologi, menulis
Habilitationsschrift dengan judul The Philosophy of Arithmetic. Dia berpindah
menganut Kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran bersama tunangan dan
anggota komunitas Yahudi Prossnitz, Malvine Charlotte Steinschneider. Mereka
memiliki tiga anak. Pada tahun 1887 dia menjadi Privatdozent di
Halle dan tinggal di sana sampai tahun 1901. Selama periode ini ia menulis
karya-karya yang penting yakni Logische Untersuchungen/Logical Investigations
(1900-1901 diterjemahkan 1970) diterbitkan dalam dua bagian, dan merupakan
pengantar bagi konsepnya tentang fenomenologi.
Pada tahun 1901,
Husserl menerima jabatan di Universitas Göttingen, di mana dia memegang posisi
pengajar selama 16 tahun. Di sini ia mengembangkan teori-teorinya tentang
fenomenologi, sebuah mazhab pemikiran yang berbeda yang menarik perhatian
banyak mahasiswa. Freiburg im
Breisgau dari 1916 hingga ia pensiun pada 1928. Setelah itu, ia melanjutkan
penelitiannya dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga
kemudian dilarang menggunakannya karena ia keturunan Yahudi yang saat itu
dipimpin oleh rektor, dan sebagian karena pengaruh dari bekas muridnya, yang
juga anak emasnya yaitu Martin Heidegger. Edmund Husserl meninggal pada tanggal
28 April 1938 (umur 79) di Freiburg, Jerman.
2. Pemikiran dan kritik terhadap Edmund
Husserl
Edmund Gustav Albrecht Husserl adalah seorang filsuf Jerman,
yang dikenal sebagai bapak fenomenologi. Pada awalnya, istilah fenomenologi
diperkenalkan oleh J.H. Lambert, tahun 1764, untuk menunjuk pada teori
kebenaran (Bagus,2002:234). Setelah itu, istilah ini diperluas pengertiannya.
Sedangkan menurut Kockelmans (1967, dalam Moustakas 1994:26), fenomenologi
digunakan dalam filsafat pada tahun 1765, yang kadang-kadang ditemukan dalam
karya-karya Immanuel Kant, yang kemudian didefinisikan secara baik dan
dikontruksikan sebagai makna secara teknis oleh Hegel. Menurut Hegel,
fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan yang muncul dalam kesadaran, sains
yang mendeskripsikan apa yang dipahami seseorang dalam kesadaran dan
pengalamannya.
Fenomenologi dicetuskan secara intens sebagai kajian filsafat
pertama kali oleh Edmund Husserl (1859-1938), sehingga Husserl sering dipandang
sebagai bapak fenomenologi. Filsafatnya sangat populer sekitar tahun 1950-an.
Tujuan utama filsafat ini adalah memberi landasan bagi filsafat agar dapat
berfungsi sebagai ilmu yang murni dan otonom (Kuper dan Kuper, ed., 1996:749).
Pada awal perkembangannya fenomenologi merupakan seperangkat pendekatan dalam
studi filosofis dan sosiologis, serta studi tentang seni (Edgar dan Sedgwick,
1999:271). Kemunculan fenomenologi oleh Husserl dilatarbelakangi oleh kenyataan
terjadinya krisis ilmu pengetahuan. Dalam krisis ini, ilmu pengetahuan tidak
bisa memberikan nasihat apa-apa bagi manusia. Ilmu pengetahuan senjang dari
praktik hidup sehari-hari. Hal ini, menurut Husserl konsep teori sejati telah
banyak dilupakan oleh banyak disiplin yang maju dalam kebudayaan ilmiah dewasa
ini. sehubungan dengan itu, Husserl mengajukan kritik terhadap ilmu pengetahuan
sebagai berikut :
a. Ilmu
pengetahuan telah jatuh pada objektivisme, yaitu cara memandang dunia dengan
susunan fakta objektif dengan kaitan-kaitan niscaya. Bagi Husserl, pengetahuan
seperti itu berasal dari pengetahuan prailmiah sehari-hari, yang disebut lebenswelt.
b. Kesadaran
manusia atau subjek ditelan oleh tafsiran-tafsiran objektivistis itu, karena
ilmu pengetahuan sama sekali tidak membersihkan diri dari
kepentingan-kepentingan dunia kehidupan sehari-hari.
c. Teori
yang dihasilkan dari usaha membersihkan pengetahuan dari
kepentingan-kepentingan itu adalah teori sejati yang dipahami tradisi pemikiran
barat.
Dengan demikian, menurut Husserl,
krisis ilmu pengetahuan itu disebabkan oleh kesalah pahaman disiplin-disiplin
ilmiah itu terhadap konsep teori sejati itu. Melalui fenomenologi, Husserl berusaha menemukan hubungan antara
teori dengan dunia kehidupan yang dihayati, yang tujuan akhirnya untuk
menghasilkan teori murni yang dapat diterapkan pada praktik (Hardiman, 1993:5).
Dengan kata lain, fenomenologi Husserl ini berangkat dari filsafat ilmu. Dalam
hal ini, ia mengusulkan bahwa fenomena-fenomena itu, untuk dipahami, harus
didekati dengan cara-cara yang khas.
Edmund Husserl menyatakan bahwa
pengetahuan ilmiah sebenarnya telah terpisahkan dari pengalaman sehari-hari
dari kegiatan-kegiatan di mana pengalaman dan pengetahuan itu berakar (Maliki,
2003:233). Maka itu, ia menawarkan fenomenologi. Konsep fenomenologi Husserl
dipengaruhi oleh konsep verstehen dari
Max Weber. Verstehen adalah
pemahaman. Realitas adalah untuk dipahami, bukan untuk dijelaskan.
Menurut Bertens (1981:99), apa yang
disebut “metode fenomenologi” saat ini kerap kali hampir tidak berkaitan lagi
dengan fenomenologi menurut konsepsi Husserl. Ia memahami fenomenologi sebagai
suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua
kesadaran dan pengalaman langsung
(Bagus, 2002:236). Fokus filsafat, baginya adalah lebenswelt (dunia kehidupan) dan erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Bagi Husserl,
fenomenologi merupakan kajian filosofis yang melukiskan segala bidang
pengalaman manusia. Manusia mengalami pengalaman hidupnya dalam sebuah
kesadaran. Baginya, fenomenologi merupakan sebuah kajian yang tak pernah
berakhir, sehingga ia menjuluki dirinya sebagai pemula yang abadi. oleh karena
itu, fenomenologi kini telah banyak dikupas dan diberi penjelasan yang begitu
luas dan beragam. Husserl sendiri bercita-cita, fenomenologi menjadi ilmu rigorous, yakni ilmu yang “ketat” yang
penjelasannya punya batasan, tidak meragukan. setiap konsep terdefinisikan
dengan jelas.
Husserl mengembangkan sistem filosofis
yang berakar dari keterbukaan subjektif, sebuah pendekatan radikal terhadap
sains yang terus dikritisi. Fenomenologi, bagi Husserl, tak berguna bagi mereka
yang berpikir tertutup (lihat Moustakas, 1994:25). Seorang fenomenolog adalah
orang yang terbuka pada realitas dengan segala kemungkinan rangkaian makna di
baliknya, tanpa tendensi mengevaluasi atau menghukumi.
Fenomenologi Husserl, menurut
Bertens, pada akhirnya berdimensi sejarah. Suatu fenomena tidaklah sebagai
sesuatu yang statis, tetapi dinamis. fenomena itu memiliki sejarah. Sejarah
berkaitan dengan riwayat individual manusia, juga manusia secara keseluruhan.
Kesadaran kita mengalami perkembangan, sejarah kita selalu hadir dalam cara
kita menghadapi realitas. Setiap fenomena mengandung muatan sejarah. Suatu
fenomena tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki kaitan dengan
peristiwa-peristiwa sebelumnya. Setelah Husserl, fenomenologi berkembang,
antara lain dalam pemikiran Morleau-Ponty, Alfred Schutz, Peter L. Berger, dan
Thomas Luckmann. Pandangan Husserl berbeda dengan pandangan para fenomenolog
berikutnya. Bagi Husserl, pengalaman merupakan sesuatu yang bersifat objektif,
terpisahkan dari individu.
Morleau-Ponty banyak dipengaruhi
oleh pemikiran Husserl. Tetapi, ia menolak idealisme Husserl. Menurut
Morleau-Ponty, manusia adalah kesatuan dari dimensi fisik dan nonfisik yang
menciptakan makna dalam dunia. Seseorang sebagai subjek pengamat, memiliki
relasi dengan sesuatu di dunia ini. Ia dipengaruhi oleh dunia dan pada
gilirannya ia pun memaknai dunia itu. Dunia yang kita alami merupakan hasil
ciptaan kesadaran kita. Fenomenologi memang mengakui adanya realitas eksternal
sebagai hal yang benar-benar ada, tetapi hal itu hanya bisa dipahami melalui
kesadaran yang kita miliki.
Menurut Alfred Schutz, proses
pemaknaan diawali dengan proses penginderaan, suatu proses pengalaman yang
terus berkesinambungan. Arus pengalaman inderawi ini, pada awalnya, tidak
memiliki makna. Makna muncul ketika dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman
sebelumnya serta melalui proses interaksi dengan orang lain. Karena itu, ada
makna individual, dan ada pula makna kolektif tentang sebuah fenomena.
Kesadaran kita memproses data inderawi. Bagi Schutz, tindakan manusia selalu
punya makna. Menurut Weber makna itu identik dengan motif tindakan. Namun,
makna itu tidak ada yang bersifat aktual dalam kehidupan.
Lebih jauh, Peter L. Berger dan
Thomas Luckmann menyatakan bahwa manusia mengontruksi realitas sosial melalui
proses subjektif, tetapi dapat berubah menjadi objektif. Proses kontruksi
terjadi melalui pembiasaan di antara para aktor. Hubungan antaraindividu dengan
institusi terjadi secara dialektik. “Masyarakat adalah produk manusia,
masyarakat adalah realitas objektif, dan manusia produk masyarakat”. Proses itu
terjadi melalui hubungan memori dari pengalaman dan peran individu. Manusia
adalah produk dari masyarakat yang diciptakannya sendiri. Selain itu,
fenomenologi berfokus pada pengalaman personal, termasuk bagaimana para
individu mengalami satu sama lain (Littlejohn, 2002:13).[2]
3. Fenomenologi Husserl
Pada Fenomenologi Husserl, dia lebih
fokus pada realitas subyektif dan mikro subyektif karena dalam teori ini
membahas terkait dengan kesadaran subyek untuk melihat objek. Mengapa mikro
subyektif karena fenomenologi adalah studi tentang esensi-esensi, misalnya
esensi persepsi, esensi kesadaran, dll. Hal tersebut berasal dari Mind. Fenomenologi merupakan studi
tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran, atau cara memahami suatu objek
atau peristiwa dengan mengalaminya secara sadar. Kemunculan fenomenologi oleh
Husserl dilatarbelakangi oleh kenyataan terjadinya krisis ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini, ilmu pengetahuan tidak bisa memberikan nasihat apa-apa bagi
manusia. Ilmu pengetahuan senjang dari praktik hidup sehari-hari. Sebenarnya
konsep fenomenologi Husserl dipengaruhi oleh konsep verstehen dari Max Weber. Verstehen
adalah pemahaman. Realitas adalah untuk dipahami, bukan untuk dijelaskan.
Metode penelitian kualitatif
menggunakan pendekatan sacara fenomenologis. Artinya peneliti berangkat ke
lapangan dengan mengamati fenomena yang terjadi di lapangan secara alamiah.
4. Pengertian dan konsep dasar
Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari bahasa
Yunani, phaenesthai, berarti
menunjukkan dirinya sendiri, menampilkan. Fenomenologi juga berasal dari bahasa
Yunani, phainomenon, yang secara
harfiah berarti “gejala” atau apa yang telah menampakkan diri sehingga nyata
bagi si pengamat. Metode fenomenologi yang dirintis oleh Husserl bersemboyan “Zuruck zu den sachen selbst (kembali kepada
hal-hal itu sendiri) (Dister Ofm, dalam Suprayogo dan Tobroni, 2003:102).
Fenomenologi sesuai dengan namanya adalah ilmu (logos) mengenai sesuatu yang
tampak (phenomenon). Dengan demikian,
setiap penelitian atau setiap karya yang membahas cara penampakkan dari apa
saja merupakan fenomenologi (Bertens, 1987:3). Dalam hal ini, fenomenologi
merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap
gejala yang membanjiri kesadaran manusia (Bagus, 2002:234). Fenomenologi adalah
studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran, atau cara memahami suatu
objek atau peristiwa dengan mengalaminya secara sadar (Littlejohn, 2003:184).
Namun, bagi Brouwer (1984:3), fenomenologi itu bukan ilmu, tetapi suatu metode
pemikiran (a way of looking at things).
Dalam fenomenologi tidak ada teori, tidak ada hipotesis, tidak ada sistem.
Fenomenologi bukan realisme, juga
bukan idealisme. Di satu sisi, fenomenologi percaya bahwa dunia itu ada, real. Dunia, dengan segala isinya, itu
nyata ada, tanpa pengaruh kehadiran pikiran kita. Ada atau tidak ada kita, kita
berpikir atau tidak, dunia itu hadir sebagaimana adanya. Tetapi fenomenologi
tidak sama dengan realism yang hanya percaya atas realitas sebagai hal objektif
terpisah dari kesadaran. Di sisi lain fenomenologi juga mengajarkan bahwa
realitas itu muncul dalam proses aktif dalam kesadaran, tetapi tidak sama
seperti idealisme yang menafikan realitas objektif (lihat Delfgaauw, 2001:105).
Jadi, fenomenologi menempati kedudukan sebelum terdapatnya perbedaan antara
realisme dengan idealisme. Namun, Husserl secara berangsur-angsur berpaling ke
arah idealisme. Sementara, murid-muridnya lebih menuju ke realisme.
Fenomenologi juga berupaya
mengungkapkan tentang makna dari pengalaman seseorang. makna tentang sesuatu yang
dialami seseorang akan sangat tergantung bagaimana orang berhubungan dengan
sesuatu itu (lihat Edgar dan Sedgwick, 1999:273). Sejalan dengan itu, menurut
Littlejohn dan Foss (2005:38), fenomenologi berkaitan dengan penampakan suatu
objek, peristiwa, atau suatu kondisi dalam persepsi kita. Pengetahuan berasal
dari pengalaman yang disadari, dalam persepsi kita. Dalam hal ini, fenomenologi
berarti membiarkan sesuatu datang meujudkan dirinya sebagaimana adanya. Dengan
demikian, di satu sisi, makna itu muncul dengan cara membiarkan
realitas/fenomena/pengalaman itu membuka dirinya. Di sisi lain makna itu muncul
sebagai hasil interaksi antara subjek dengan fenomena yang dialaminya.
Berikut adalah beberapa pengertian
fenomenologi lainnya :
a. Fenomenologi
adalah studi tentang esensi-esensi, misalnya esensi persepsi, esensi kesadaran,
dsb.
b. Fenomenologi
merupakan filsafat yang menempatkan kembali esensi-esensi dalam eksistensi,
bahwa manusia dan dunia tak dapat dimengerti kecuali dengan bertitik tolak pada
aktivitasnya.
c. Fenomenologi
adalah suatu filsafat transcendental yang menangguhkan sikap natural dengan
maksud memahaminya secara lebih baik.
d. Fenomenologi
merupakan filsafat yang menganggap dunia selalu “sudah ada” mendahului
refleksi, sebagai suatu kehadiran yang tak terasingkan, yang berusaha
memulihkan kembali kontak langsung dan wajar dengan dunia sehingga dunia dapat
diberi status filosofis.
e. Fenomenologi
adalah ikhtiar untuk secara langsung melukiskan pengalaman kita sebagaimana
adanya, tanpa memperhatikan asal-usul psikologisnya dan keterangan kausal yang
dapat disajikan oleh ilmuwan, sejarawan, dan sosiolog (lihat Merleau-Ponty
dalam Bertens, ed.,1987:27).
Untuk memahami fenomenologi ,
terdapat beberapa konsep dasar yang perlu dipahami, antara lain konsep fenomena,
epoche, konstitusi, kesadaran, dan
reduksi.
a. Fenomena
Secara etimologis, istilah fenomena
berasal dari kata Yunani : Phaenesthai, artinya
memunculkan, meninggikan, menunjukkan dirinya sendiri. Menurut Martin Heidegger
(Moutakas, 1994:26), istilah fenomena yang juga dibentuk dari istilah phaino, berarti membawa pada cahaya, menempatkan pada
terang-benderang, menunjukkan dirinya sendiri di dalam dirinya, totalitas dari
apa yang tampak di balik kita dalam cahaya. Fenomena adalah suatu tampilan
objek, peristiwa, dalam persepsi. Suatu yang tampil dalam kesadaran. Fenomena,
dalam konsepsi Husserl adalah realitas yang tampak, tanpa selubung atau tirai
antara manusia dengan realitas itu.
b. Kesadaran
Kesadaran adalah pemberian makna
yang aktif. Kita selalu mempunyai pengalaman tentang diri kita sendiri, tentang
kesadaran yang identik dengan diri kita sendiri. Dunia sebagai kebertautan
fenomena-fenomena diantisipasi dalam kesadaran akan kesatuan kita dan bahwa
dunia itu merupakan sarana bagi kita untuk merealisasikan diri kita sebagai
kesadaran. Kesadaran adalah kemampuan untuk memperlakukan subjek untuk menjadi
objek bagi dirinya sendiri, atau menjadi objektif tentang dirinya sendiri
(Bagus, 2002:232). Kesadaran adalah keterbukaan dan kelangsungan hubungan dengan
yang lain, di mana dirinya dengan yang lainnya tidak memiliki pemisahan yang
tegas.
c. Intensionalitas
Menurut Husserl, kesadaran bersifat
intensionalitas, dan intensionalitas merupakan struktur hakiki kesadaran
manusia. Dalam fenomenologi, intensionalitas mengacu pada keyakinan bahwa semua
tindakan (aktus) kesadaran memiliki kualitas, atau seluruh kesadaran akan
objek-objek. Tindakan kesadaran disebut tindakan intensional dan objeknya
disebut objek intensional (Bagus, 2002:261-362).
d. Konstitusi
Konstitusi adalah proses tampaknya
fenomena ke dalam kesadaran (Bertens, 1981:202). Ia merupakan aktivitas kesadaran,
sehingga realitas itu tampak. Dunia nyata itu dikonstitusi oleh kesadaran.
kenyataan real bukan berarti ada
karena diciptakan oleh kesadaran, tetapi kehadiran aktivitas kesadaran ini
diperlukan agar penampakan fenomena itu dapat berlangsung. Dengan kata lain,
konstitusi itu semacam proses kontruksi dalam kesadaran manusia.
e. Epoche
Epoche merupakan konsep yang dikembangkan
oleh Husserl, yang terkait dengan upaya mengurangi atau menunda penilaian (bracketing) untuk memunculkan
pengetahuan di atas setiap keraguan yang mungkin. Sejalan dengan Descartes dan
Kant, Husserl berpendapat berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari intuisi,
dan esensi mendahului pengetahuan empiris. Epoche
berasal dari kata Yunani, yang berarti menahan diri untuk menilai. Dalam
sikap alamiah sehari-hari, kita memperoleh pengetahuan melalui penilaian
terhadap sesuatu.
f. Reduksi
Reduksi merupakan kelanjutan dari epoche. Bagi Husserl, manusia memiliki
sikap alamiah yang mengandaikan bahwa dunia ini sungguh ada sebagaimana diamati
dan dijumpai. Reduksi Fenomenologis untuk mendapatkan fenomena dalam wujud
semurni-murninya. Reduksi Fenomenologis transcendental adalah seorang
fenomenolog hendaknya menanggalkan segenap teori, praanggapan, serta prasangka,
agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya (Delfgaauw, 2001:105).
g. Intersubjektivitas
Segala sesuatu yang di pahami
tentang orang lain didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman masa lalu.
5. Fenomenologi
sebagai Metode Penelitian
Pada hakikatnya penelitian
kualitatif menggunakan pendekatan secara fenomenologis. Artinya peneliti
berangkat ke lapangan dengan mengamati fenomena yang terjadi di lapangan secara
alamiah. Namun nanti yang akan membedakan masing-masing jenis penelitian itulah
fokus penelitian. Apakah penelitian itu fokus ke budaya, fenomena, kasus dan sebagainya. Fenomenologi
merupakan upaya pemberangkatan dari metode ilmiah yang berasumsi bahwa
eksistensi suatu realitas tidak orang ketahui dalam pengalaman biasa.
Fenomenologi membuat pengalaman yang dihayati secara aktual sebagai data dasar
suatu realitas. Jadi, peneliti dalam studi fenomenologi tidak tertarik mengkaji
aspek-aspek kausalitas dalam suatu peristiwa, tetapi berupaya menggeledah
tentang bagaimana orang melakukan sesuatu pengalaman beserta makna pengalaman itu
bagi dirinya.
Fenomenologi juga mempelajari dan
melukiskan ciri-ciri intrinsik dari gejala sebagaimana gejala itu menyingkapkan
dirinya pada kesadaran (Bagus, 2002:236). Metode yang digunakan adalah
deskriptif, dan bertujuan mengungkap intensionalitas, kesadaran, dan
“dunia-kehidupan” (Kuper dan Kuper, ed., 1996:749). Sebagai metode,
fenomenologi merupakan persiapan bagi setiap penyelidikan di bidang filsafat
dan bidang ilmu pengetahuan positif. Satu-satunya alat untuk itu adalah bahasa.
Jika ilmuwan positivis meyakinkan orang dengan menunjukkan bukti, maka
fenomenolog menunjukkan orang lain mengalami seperti fenomenolog mengalaminya.
Atas dasar ini, maka fenomenologi dapat dikatakan sebagai lukisan gejala dengan
menggunakan bahasa.
Fenomenologi menjelaskan fenomena
dan maknanya bagi individu dengan melakukan wawancara pada sejumlah individu. Temuan
ini kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip filosofis fenomenologi. Studi
ini diakhiri dengan esensi dari makna (Creswell, 1998:40). Fenomenologi menjelaskan
struktur kesadaran dalam pengalaman manusia. Pendekatan fenomenologi berupaya
membiarkan realitas mengungkapkan dirinya sendiri secara alami. Melalui
“pertanyaan pancingan”, subjek penelitian dibiarkan menceritakan segala macam
dimensi pengalamannya berkaitan dengan sebuah fenomena/peristiwa. Studi
fenomenologi berasumsi bahwa setiap individu mengalami suatu fenomena dengan
segenap kesadarannya. Dengan kata lain, studi fenomenologi bertujuan untuk
menggali kesadarannya terdalam para subjek mengenai pengalamannya dalam suatu
peristiwa.
Dalam memahami fenomena,
fenomenologi memiliki metode atau langkah. Pertama,
melihat fenomena sebagai esensi, sebagai fenomena murni. Fenomenolog melakukan
reduksi. Yakni semacam abstraksi, melihat sesuatu dan menutup mata untuk hal
lain. Reduksi pertama adalah menghadap sesuatu fenomena sebagai hal yang
menampakkan diri dan tidak melihat hal itu sebagai hal yang ada. Reduksi kedua adalah
kita melihatnya sebagai sesuatu yang umum. Reduksi ketiga adalah kita menutup mata
untuk hal yang berhubungan dengan kebudayaan. Reduksi terakhir, reduksi
transcendental adalah bahwa fenomena dilihat dari segi supra individual sebagai
objek untuk suatu subjek umum.
Persoalan objektivitas. Suatu fakta
yang diteliti dalam perspektif fenomenologi bersifat subjektif, yakni
berdasarkan penuturan para subjek yang mengalami fakta atau fenomena yang
bersangkutan. Bagaimana mengatasi subjektivitas si subjek yang diteliti atau
peneliti itu sendiri ? Objektivitas dalam fenomenologi berarti membiarkan fakta
berbicara untuk dirinya sendirinya. Hal ini bisa dilakukan melalui epoche dan eiditik. Epoche adalah
proses di mana si peneliti menangguhkan atau menunda penilaian terhadap
fakta/fenomena yang diamatinya walaupun ia telah memiliki prakonsepsi atau
penilaian tertentu sebelumnya terhadap fenomena itu. Biarkanlah fenomena itu
berbicara apa adanya, tanpa intervensi penilaian baik-buruk, positif-negatif,
bermoral-tidak bermoral dari si peneliti. Eiditik
adalah memahami fenomena melalui pemahaman atas ungkapan-ungkapan atau
ekspresi-ekspresi yang digunakan subjek. Dalam hal ini, peneliti melakukan
empati, mencoba memasuki wilayah pengalaman pemikiran subjek melalui proses
imajinatif.
6. Karya-karya
Edmund Husserl
a. 1887.
Über den Begriff der Zahl. Psychologische Analysen.
b. 1891.
Philosophie der Arithmetik. Psychologische und logische Untersuchungen. [1970,
Philosophy of Arithmetic]
c. 1900.
Logische Untersuchungen. Erste Teil: Prolegomena zur reinen Logik. [1970,
Logical Investigations. Vol 1]
d. 1901.
Logische Untersuchungen. Zweite Teil: Untersuchungen zur Phänomenologie und
Theorie der Erkenntnis. [1970, Logical Investigations. Vol 2]
e. 1911.
Philosophie als strenge Wissenschaft. [1965, included in "Phenomenology
and the Crisis of Philosophy: Philosophy as Rigorous Science and Philosophy and
the Crisis of European Man"]
f. 1913.
Ideen zu einer reinen Phänomenologie und phänomenologischen Philosophie. Erstes
Buch: Allgemeine Einführung in die reine Phänomenologie. [1931, Ideas: General
Introduction to Pure Phenomenology]
g. 1923-24.
Erste Philosophie. Zweiter Teil: Theorie der phänomenologischen Reduktion.
[1959, First Philosophy, Vol 2: Phenomenological Reductions]
h. 1925.
Erste Philosophie. Erste Teil: Kritische Ideengeschichte. [1956, First
Philosophy Vol 1: Critical History of Ideas]
i.
1928. Vorlesungen zur Phänomenologie
des inneren Zeitbewusstseins.
j.
1929. Formale und transzendentale
Logik. Versuch einer Kritik der logischen Vernunft. [1969, Formal and
Transcendental Logic]
k. 1931.
Méditations cartésiennes. [1960, Cartesian Meditations]
l.
1936. Die Krisis der europäischen
Wissenschaften und die transzentale Phänomenologie: Eine Einleitung in die
phänomenologische Philosophie. [1970, The Crisis of European Sciences and
Transcendental Phenomenology: An Introduction to Phenomenological Philosophy]
m. 1939.
Erfahrung und Urteil. Untersuchungen zur Genealogie der Logik. [1973,
Experience and Judgment]
n. 1952.
Ideen II: Phänomenologische Untersuchungen zur Konstitution.
o. 1952.
Ideen III: Die Phänomenologie und die Fundamente der Wissenschaften.
Sementara itu dalam penelusuran
Bernet dan kawan-kawannya dalam bukunya “An
Introduction to Husserlian Phenomenologhy” dapat ditemukan keseluruhan
karya Edmund Husserl, sebagai berikut :
1. Mundane
Phenomenologhy
a. Logic
and formal ontology (41 bundles of manuscripts)
b. Formal
Ethic, philosophy of law (1)
c. Ontology
(Eidetics and its methodology) (13)
d. Theory
of science (22)
e. Intentional
Anthropology (Person and Surrounding-world) (26)
f. Psychology
(Doctrine of intentionality)(36)
g. Theory
of world apperception (31)
2. The
Reduction
a. Paths
to the reduction (38 bundles of manuscripts)
b. The
reduction itself and its methodology (23)
c. Preliminary
Trancendental intentional analysis (12)
d. Historical
and systematic self-characterization of phenomenologhy (12)
3. Time-constitution
as formal constitution (17 bundles of manuscripts)
4. Primordial
constitution (“urconstitution”) (18 bundles of manuscripts)
5. Intersubjective
constitutional
a. Constitutional
basic doctrine of the immediate experience of the other (7)
b. Constitutional
of the mediate experience of the other (full sociality) (3)
c. Transcendental
Anthropology (Transcendental theology, etc.) (11)
6. Lecture
courses and public lectures
a. Lecture
Courses and parts from lectures (44 bundles of manuscripts)
b. Public
lectures with appendices (7)
c. Manuscripts
of published treatises with later appendices (1)
d. Loose
sheets (4)
7. Autographs,
not included in the critical inventory of 1935.
a. Manuscripts
earlier than 1910 (69 bundles of manuscripts)
b. Manuscripts
from 1910-1930 (5)
c. Manuscripts
later than 1930-to the problems of krisis (34)
d. Copies
of Husserl’s marginal notes in books of his library
8. The
Bernau Manuscripts
a. (21
bundles of manuscripts)
b. (21
bundles of manuscripts)
9. Copies
of Husserl’s manuscripts in running hand of typescript, carried out by
Husserl’s assistants earlier than 1938
a. Lecture
courses (4)
b. Public
lectures (3)
c. Sketches
for publications (17)
10. Transcriptions
11. Manuscripts
by other authors
12. Husserl’s
note from lecture courses by his teacher
13. Letters
a. Letters
by Husserl
b. Letters
to Husserl
c. Letters
about Husserl
d. Letters
by Malvine Husserl (after 1938)
14. Archival
Material (21)
[1] Moh
Dahlan, Pemikiran Fenomenologi Edmund
Husserl Dan Aplikasinya Dalam Dunia Sains Dan Studi Agama. (Yogyakarta: Vol
13 Nomor 1 Januari-Juni 2010) h.22-23.
[2] O.
Hasbiansyah, Pendekatan Fenomenologi:
Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi. (Mediator,
Vol 9 No 1 Juni 2008) Terakreditasi Dirjen Dikti SK No.56/DIKTI/Kep/2005. h.
163-166.
Komentar
Posting Komentar